INFLASI DI INDONESIA :
SUMBER-SUMBER PENYEBAB DAN
PENGENDALIANNYA
Adwin S. Atmadja
Dosen Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi -
Universitas Kristen Petra
Edited by :
Edited by :
Riyan Yoga
Sakti
Program
Studi Teknik Industri Fakultas Teknik
Universitas
Mercu Buana
ABSTRAK
Krisis moneter yang melanda
negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi
perekonomian nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation
sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi
Indonesia.
Fenomena inflasi di Indonesia
sebenarnya semata-mata bukan merupakan suatu fenomena jangka pendek saja dan
yang terjadi secara situasional, tetapi seperti halnya yang umum terjadi pada
negara-negara yang sedang berkembang lainnya. Dengan demikian, maka pembenahan
masalah inflasi di Indonesia tidak cukup dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen
moneter saja, yang umumnya bersifat jangka pendek, tetapi juga dengan melakukan
pembenahan di sektor riil, yaitu dengan target utama mengeliminasi hambatan-hambatan
struktural yang ada dalam perekonomian nasional.
Kata kunci : inflasi, structural
bottleneck.
ABSTRACT
The monetary crisis that hit the
ASEAN countries, including Indonesia, have caused damage to the joints of the
national economy. The monetary crisis resulted in imported inflation as a
result of the sharp depreciation of the exchange rate against foreign
currencies, which in turn lead to heavy inflation pressure for Indonesia.
The phenomenon of inflation in
Indonesia is not merely a short-term phenomenon occurring only and situational,
but as was common in countries that are developing. Thus, the improvement of
the inflation problem in Indonesia is not quite done with the use of monetary
instruments, which are generally short-term, but also to make corrections in
the real sector, which is the main target of eliminating the structural barriers
that exist in the national economy.
Keywords: inflation, structural bottleneck.
PENDAHULUAN
Krisis moneter yang melanda
negara-negara anggota ASEAN, telah memporakporandakan struktur perekonomian
negara-negara tersebut. Bahkan bagi Indonesia, akibat dari terjadinya krisis
moneter yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi dan politik. Krisis moneter
yang melanda Indonesia diawali dengan terdepresiasinya secara tajam nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika).
Lonjakan yang cukup tajam
terhadap angka inflasi nasional yang tanpa diimbangi oleh peningkatan
pendapatan nominal masyarakat, telah menyebabkan pendapatan riil rakyat semakin
merosot. Juga, pendapatan per kapita penduduk merosot relatif sangat cepat,
yang mengakibatkan Indonesia kembali masuk dalam golongan negara miskin. Hal
ini telah menyebabkan semakin beratnya beban hidup masyarakat, khususnya pada
masyarakat strata ekonomi bawah.
Jika melihat begitu dasyatnya
pengaruh lonjakan angka inflasi di Indonesia (akibat dari imported inflation
yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing)
terhadap perekonomian nasional, maka dirasa perlu untuk memberikan perhatian
ekstra terhadap masalah inflasi ini dengan cara mencermati kembali teori-teori
yang membahas tentang inflasi; faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab
timbulnya inflasi di Indonesia; serta langkah-langkah apakah yang sebaiknya
diambil untuk dapat keluar dari perangkap inflasi ini.
TINJAUAN TEORITIS
Teori Kuantitas
Teori ini menekankan pada peranan
jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga
terhadap timbulnya inflasi.
Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi
dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar
batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat
terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang
tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap.
Mark-up Model
Pada teori ini dasar pemikiran
model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit
margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Price = Cost +
Profit Margin
Karena besarnya
profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu
dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :
Price = Cost + (
a% x Cost )
Dengan demikian,
apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of
production dan atau penaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya
kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.
Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang
Banyak
study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi
bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena
struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi
negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga,
goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen atau
hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya
term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan
fluktuasi harga di pasar domestik.
PEMBAHASAN
Perkembangan Inflasi di Indonesia
Seperti
halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya, fenomena
inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai “penyakit” ekonomi makro
yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang akhir
pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat
ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandungkerawanan
jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan miskin
yang menderita akibat inflasi.
Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya
krisis moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah
satu dari penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung
meningkat pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah
dengan semakin besarnya presentase golongan masyarakat miskin. Sehingga bisa
dikatakan, bahwa meskipun angka inflasi di Indonesia termasuk dalam katagori
tinggi, tetapi dengan meninjau presentase golongan masyarakat ekonomi bawah
yang menderita akibat inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat dikatakan
bahwa inflasi di Indonesia telah masuk dalam stadium awal dari hyperinflation.
Sumber-sumber Inflasi di Indonesia
Apabila ditelaah lebih lanjut,
terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi di
Indonesia, yaitu :
Jumlah uang beredar
Menurut sudut
pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah faktor utama yang dituding
sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara, tidak terkecuali di
Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih banyak diterjemahkan
dalam konsep narrow money ( M1 ). Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan,
bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Sejak tahun
1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada
presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa
telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia.
Menurut data yang dihimpun dalam
Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar
di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi jika dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti
halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah
Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip
anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh
hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali
menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun.
Selama pemerintahan Orde Lama
defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai dari dalam negeri dengan cara
melakukan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan
ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang
hebat.
Dalam era pemerintahan Orde
Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan
sejak Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan
pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana
pembangunan dari masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan
pajak) di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang),
juga kemampuan sektor swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan,
menyebabkan pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan.
Tekanan inflasi pada periode ini
lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat agresifitas sektor swasta dalam
melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh perkembangan sektor perbankan yang
semakin ekspansif pula. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang masih
saja relatif terbatas, maka pinjaman luar negeri yang sifatnya non komersial
maupun komersial pun semakin meningkat. Akibatnya, tetap saja terjadi defisit
anggaran belanja negara dan neraca pembayaran, salah satu sebabnya karena
pemerintah tetap saja harus menyediakan infrastruktur dan suprastruktur pembangunan
ekonomi yang kebutuhannya semakin meningkat. Peran pemerintah ini dapat
dimaklumi karena kemampuan swasta nasional dalam pembangunan infrastruktur
ekonomi masih sangat terbatas.
Faktor-faktor dalam Penawaran Agregat dan Luar Negeri
Kelambanan penyesuaian dari
faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat ini
lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural (structural
bottleneck) yang ada di Indonesia.
Harga bahan pangan merupakan
salah satu penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini
antara lain disebabkan oleh ketegaran struktural yang terjadi di sektor
pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya penawaran bahan pangan.
Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar terhadap sektor pertanian,
yang tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap
tenaga kerjanya yang sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi,
mengakibatkan harga bahan pangan meningkat pesat.
Bila suatu ketika terjadi
depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing, maka akan
menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh produsen,
baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun beban hutang
luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan.
Berkaitan dengan posisi hutang
luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990-an, telah membengkak dengan
tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih dari 40 %, dan
presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah melampaui hutang non
komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat membahayakan ketahanan
ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial.
Pengendalian Inflasi di Indonesia
Sebagaimana
halnya yang umum terjadi pada negara – negara berkembang, inflasi di Indonesia
relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi
bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary policies. Sehingga bisa
dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih besar dari pada demand
pull inflation.
Pada umumnya pemerintah
Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan
tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih senang menggunakan instrumen
moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya dengan open market
mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa pendekatan
moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan
sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan
pada negara berkembang yang masih memiliki structural bottleneck.
Dalam
menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak memainkan
instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy yang
diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan
modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga
umum.
Jika
demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya
dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan
cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi hambatan-hambatan
struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai
hambatan dalam pembangunan perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas,
maka perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu :
Meningkatkan Supply Bahan Pangan
Meningkatkan
supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada
pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan.
Mengurangi Defisit APBN
Mungkin dalam masa krisis ekonomi
mengurangi defisit APBN tidak dapat dilaksanakan, tetapi dalam jangka panjang
(setelah krisis berlalu) perlu dilakukan.Untuk mengurangi defisit anggaran
belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan penerimaan rutinnya, terutama dari
sektor pajak dengan benar dan tepat karena hal ini juga dapat menekan excess
demand. Dengan semakin naiknya penerimaan dalamnegeri, diharapkan pemerintah
dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pinjaman dana dari luar negeri.
Dengan demikian anggaran belanja pemerintah nantinya akan lebih mencerminkan
sifat yang relative independent.
Meningkatkan Cadangan Devisa
Pertama, perlu memperbaiki posisi
neraca perdagangan luar negeri (current account), terutama pada perdagangan
jasa, agar tidak terus menerus defisit.
Kedua, diusahakan agar dapat
mengurangi ketergantungan industri domestik terhadap barang-barang luar negeri.
Ketiga, mengubah sifat industri dari
yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat promosi ekspor, agar
terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export.
Keempat, membangun industri yang
mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan memiliki kandungan komponen
lokal yang relatif tinggi pula.
KESIMPULAN
Masalah inflasi di Indonesia
ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek, tetapi juga merupakan
fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa inflasi di Indonesia bukan
semata-mata hanya disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijaksanaan di sektor
moneter oleh pemerintah, yang seringkali dilakukan untuk tujuan menstabilkan
fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka pendek, tetapi juga mengindikasikan
masih adanya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian Indonesia yang
belum sepenuhnya dapat diatasi.
Defisit APBN; peningkatan
cadangan devisa; pembenahan sektor pertanian khususnya pada sub sektor pangan;
pembenahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi posisi penawaran agregat
merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan penanganan yang serius untuk dapat menekan
inflasi ke tingkat yang serendah mungkin di Indonesia, disamping tentunya
pengelolaan tepat dan pembenahan di sektor moneter.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono
(1997), Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No: 2 ; Ekonomi Makro, edisi keempat;
Yogyakarta, BPFE.
Cavanese,
A. J., The Structuralist Explanation in the Theory of Inflation, Word Development,
No. 10 halaman 523-529.
Dalal,
M.N., Schacher, G. (July 1988), Transmission of International Inflation to India
: A Structural Analisis, The Journal of Developing Areas, No. 23, halaman 85-104.
Friedman,
Milton (March 1984), The Role of Monetary Policy, American Economic Review,
halaman 57-71.
Fry, M.J.,
(Maret 1971), Money and Capital or Financial Deepening in Economic Development
?, Journal of Money, Credit and Banking, No. 1, halaman 22-45.
Gunawan,
Anton H. (Januari 1991), Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia, PAU-Ekonomi-UI,
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Indrawati,
Sri Mulyani (1996), Sumber-Sumber Inflasi di Indonesia, Makalah dalam Seminar
ISEI dan PERHEPI, Jakarta.
Lim, J.
(September 1987), The New Structuralist Critique of The Monetarist Theory of Inflation,
Journal of Development Economic, No. 25.
McKinnon,
R.I (1973)., Money and Capital in Economic Development, Washinton DC : Brooking.
Tambunan,
Tulus T.H. (1996), Perekonomian Indonesia, Jakarta, Galia Indonesia.
Van
Wijnbergen, S. (September 1982), Credit Policy, Inflation and Growth in a Financially
Repressed Economy, Journal of Development Economics, No. 13, halaman 45-65
0 comments:
Post a Comment